KawalSumut.Com – Jagad Sumatra Utara tengah dihebohkan dengan kelahiran seorang bayi perempuan yang lahir tanpa tempurung kepala di Kecamatan Lingga Bayu, Mandailing Natal, Sumut. Ternyata bayi ini hanya satu dari enam bayi lainnya yang dalam kurun waktu dua tahun terakhir lahir dengan berbagai kelainan di kabupaten tersebut.
Kelainan tersebut diduga berkaitan dengan adanya aktivitas penambangan emas illegal di Madina yang menggunakan bahan kimia merkuri. Bumi Mandailing Natal memang terkenal sebagai salah satu wilayah penghasil emas di Indonesia. Hal ini pula yang menyebabkan banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari aktivitas penambangan ini.
“Rata-rata orang tua si bayi, merupakan bekas pekerja tambang emas illegal itu yang menggunakan mercuri untuk pemisah emas,” kata dr. Nondang Eflita, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kabupaten Madina.
Ditambahkannya, bahkan tiga dari enam orang tua bayi yang lahir dengan kelainan merupakan pekerja tambang, sementara yang lainnya diduga terpapar melalui air minum yang terkontaminasi dengan air pertambangan.
Berdasarkan keterangan Dahlan Ihsan Nasution, Bupati Mandailing Natal kepada pers, aktivitas penambangan ini bahkan sangat dekat dengan pemukiman warga.
“Semula pertambangan ini dilakukan di tanah-tanah persawahan. Seiring berjalannya waktu dan keuntungan yang besar, mulai menjalar ke pinggir-pinggir pemukiman dan sungai,” ujar Dahlan.
Dalam penambangan emas, merkuri digunakan pada artisanal and Small-Scale Gold Mining (ASGM) atau pertambangan emas skala kecil. Penggunaan merkuri bertujuan untuk mengekstrak emas dari bijih. Caranya adalah membuat campuran dari merkuri dan bijih untuk menghasilkan amalgam. Amalgam kemudian dipanaskan guna menguapkan merkuri dari campuran, sehingga menyisakan emas.
Metode ini dianggap lebih efisien karena bisa dikerjakan oleh satu orang dengan biaya yang lebih murah. Maka kebanyakan Penambangan Emas Skala Kecil (PESK) akan menggunakan metode ini.
Sementara Indonesia merupakan salah satu dari 92 negara penandatangan awal Konvensi Minamata di Kumamoto, Jepang pada 10 Oktober 2013. Konvensi tersebut kini telah ditandatangani 128 negara dan mulai berlaku sejak 16 Agustus 2017.
Konvensi Minamata mengatur pengadaan dan perdagangan merkuri dan senyawa merkuri, termasuk di dalamnya pertambangan merkuri, penggunaannya sebagai bahan tambahan di dalam produk dan proses produksi, pengelolaan merkuri di Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK), pengendalian emisi dan lepasan merkuri dari industri ke udara, air dan tanah, penyimpanan stok f cadangan merkuri dan senyawa merkuri sebagai bahan baku/tambahan produksi, pengelolaan limbah merkuri dan lahan terkontaminasi merkuri, serta kerja sama internasional dalam pengelolaan bantuan teknis, pendanaan dan pertukaran informasi.
Adalah Tragedi Minamata yang terjadi sekitar 1960 di Minamata Jepang yang mendasarkan konvensi tersebut. Ketika sekitar 17.000 lebih orang melaporkan mengalami gejala susah berbicara, lumpuh, berjalan terhuyung-huyung, tremor, kejang-kejang, keterbelakangan mental, hingga kematian yang kini dikenal sebagai penyakit Minamata.
Kejadian ini diakibatkan limbah merkuri yang dihasilkan oleh Chisso, sebuah pabrik terbesar di Jepang yang memproduksi pupuk kimia, asam asetat, vinil klorida, dan plasticizer. Dalam memproduksi asam asetat, mereka menggunakan merkuri (raksa) sebagai katalis. Sistem pengolahan limbah yang sangat buruk membuat Chisso membuang limbah merkuri ke Teluk Minamata.
Dampak yang ditimbulkan pun dirasakan selama puluhan tahun terhadap warga sekitar dengan timbulnya penyakit Minamata. Penyakit ini pertama kali terdeteksi pada bulan Mei 1956. Hasil laut di Teluk Minamata menunjukkan kontaminasi merkuri tingkat tinggi, yakni 5,61 sampai 35,7 μg/L. Padahal, masyarakat kota ini bisa mengkonsumsi ikan dari Teluk Minamata sebanyak 3 kg per hari. Tragedi ini bisa saja terjadi di Madina bila penggunaan merkuri pada pertambangan emas tidak dihentikan.
Demi menjaga kesehatan masyarakat serta melindungi generasi mendatang dari bahaya merkuri, atas dasar konvensi tersebut Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang No.11 tahun 2017 mengenai praktik dan penggunaan merkuri di seluruh wilayah Indonesia. Artinya penggunaan merkuri tanpa izin yang kebanyakan dilakukan oleh pertambangan emas di Madina adalah illegal.
Namun dalam UU No.11 tahun 2017 juga dijelaskan mengenai jaminan kepastian berusaha pertambangan emas skala kecil, artinya selain menertibkan tugas dari pemerintah adalah memberikan solusi kepada masyarakat yang telah menggantungkan hidupnya dari tambang emas tersebut agar menghindari merkuri sebagai bahan pemisah.